Friday, October 14, 2011

Penetas Telur | Distributor Penetas Telur Terbesar Se Indonesia

[caption id="" align="alignleft" width="240" caption="Penetas Telur"]Penetas Telur[/caption]

Penetas Telur yang berada di ruangan itu dimatikan semuanya. Pukul 4 sore semua aktivitas berhenti. Satu per satu pegawai menuju keluar dan lampu serta mesin-mesin dimatikan. Masih ada satu masih menyala. Di dalamnya ada beberapa butir telur yang perkiraan tiga hari lagi akan menetas.

Penetas Telur


itu tetap menyala ketika di ruangan itu tak ada satupun orang di dalamnya.
"Lagi apa dek?" Sapa Mas Heru, aku hanya tersenyum sambil menunjuk sebuah bukit yang pinggirannya digenangi air sungai, "aku paling suka kalau sore-sore di sini. Suasanannya tenang. Mas Heru gak pulang?" Tanyaku kemudian mengubah posisi telungkupku menjadi duduk. "Iya sebentar lagi."Ucapnya, "tadi anak ayamnya ada yang menetas lagi lo dek. ada berapa tadi itu...? Lima apa tujuh gitu."

"Wih, tumben banyak. biasanya kan cuma tiga ekor aja ya? apa itu pengaruh penetas telur mas?"

"Syukur dong dek, peningkatan itu namanya." Aku hanya mengangguk kemudian meneruskan topik pembicaraan kami, "aku ingat waktu itu ada beberapa ekor anak ayam yang setelah menetas beberapa jam lalu mati. Mas tahu gak itu kenapa?" Mas Heru menghela nafas panjang lalu bercerita, "Dulu memang ada kasus seperti itu. gak hanya satu atau dua yang mati, tapi ratusan ekor. ada kemungkinan karena virus, kemungkinan lain karena kurang bisa beradaptasi sama lingkungan kita yang cenderung dingin. Kamu tahunya kapan ada anak ayam mati?"

"Dulu di sini waktu aku masih kelas tiga SD. Aku waktu itu sampai menangis, karena mereka waktu itu masih imut. masih kecil-kecil." Mas Heru mengeluarkan sebuah kotak berisi rokok yang di dalamnya ada korek apinya. diambilnya sebatang, diapit dikedua belah bibirnya lalu dinyalakanlah korek itu. Dia Membayangkan penetas telur yang masih menyala itu. Bagaimana kira-kira keadaannya.

"Mas Heru sejak kapan merokok? Kok aku gak pernah tahu ya?"

"Ngerokok kalau pas lagi suntuk aja. Kalau pas lagi good mood ya enggak." Ujarnya."Suntuk kenapa?"

"Yaa biasa, tanggal tua. bawaannya bikin orang bete. mana belum bayar kuliah ini dek." Keluhnya, asap mengepul terhembus dari mulutnya meliuk-liuk ke angkasa kemudian hilang secara perlahan. "Sabar. tiga hari lagi juga sudah tanggal muda mas. aku juga belum dapat tunjangan nih." Mas Heru terkekeh sambil membuang seperempat batang rokoknya ke sungai.

"Eh! Jangan buang sembarangan!"

"iya-iya bu guru. maaf."

"eh, penetas telur itu dibelinya kapan sih mas?"

"Kira-kira sekitar empat tahun yang lalu. kalau gak salah sih. soalnya ketika mas di sini, alat-alat itu sudah ada."

"O." Ucapku singkat.

kami saling diam cukup lama, "kamu sekarang kuliah semester berapa?" Pertanyaan Mas Heru memecahkan keheningan. "Baru semester empat mas. Mas sendiri?"

"Bulan depan semester tujuh. Kemarin kamu to dek yang sms aku soal penetas telur itu?" aku mengiyakannya. "Ada apa memangnya?"

"temanku ada yang mau beli katanya mas. Bapaknya tertarik dengan dagangan punya ayah."

"Kenapa gak beli yang baru aja? Ayahmu juga jual kan?"

"iya itu maksudku, oh ya mas. Mas di sini udah berapa tahun sih?"

"Sekitar dua tahun yang lalu. Waktu itu syukurnya ayahmu mau berbaik hati menolong mas. Kalau waktu itu nggak ada ayahmu, mas gak tahu sekarang jadi apa."

"Maksudnya?" Mas Heru menjelaskan awal pertemuannya dengan ayahnya. Ketika itu orang tuanya sedang terlilit hutang rentenir ayahnya tergerak untuk membantu dan melunasi hutangnya. "Segitunya mas? Terus sekarang orang tua mas bagaimana keadaannya?"

"Orang tuaku sudah bahagia di alam sana dek, berkat ayahmu yang rela menjual delapan unit penetas telur"

Alat Penetas Telur

[caption id="" align="alignleft" width="210" caption="Alat Penetas Telur"]Alat Penetas Telur[/caption]

Alat Penetas Telur itu masih menganggur. Terdiam, tidak ada aktivitas di sana. Ayah memberi makan ayam-ayamnya di belakang rumah bersama

Alat Penetas Telur


. Kali ini beliau terlihat lebih baik dari pada sebelumnya. Wajahnya lebih ceria dan tersungging senyum di sana. Entah apa yang membuatnya ceria pagi ini. Apakah benda itu akan dijual? Tidak mungkin, itu kan salah satu alat penetas telur penting milik ayah.

Kutanyakan hal ini kepada ayah. Ayah hanya tersenyu kemudian berkata, "ya sekali-kali ayah ingin senang, boleh kan?" aku hanya tersenyum mendengar perkataan ayah. Beberapa menit kemudian, Pak Pambudi dan Mas Heru nampak bekerja di kandang ayam. "Bagaimana bisa? bukankah mereka sudah memilih untuk hengkang dari tempat ini?" Kusapa mereka berdua, mereka menyambutku dengan baik.

Mas Heru yang sedang membersihkan alat penetas telur itu kuhampiri dan kutanyakan apa yang sedang terjadi di rumah ini, mulai dari senyum ayah pagi ini, kembalinya Mas Heru dan Pak Pambudi. Mereka kembali lantaran merasa bersalah telah meninggalkan ayahnya seorang diri. Mereka sadar bahwa ini semua adalah ujian. Aku tersenyum mendengar ceritanya.

Alat penetas telur itu kemudian dinyalakan lagi dan semua mesin bekerja kembali layaknya dulu ketika ayah masih berjaya. Ayah sering berkata padaku bahwa ketika kita mulai berada di bawah, dunia tidak akan menoleh kepada kita. ketika berada di samping, dunia akan melihat kita dan ketika kita berada di atas, dunia akan menghampiri kita dan ingin selalu dekat. Kujadikan itu sebagai kalimat motivator untukku.

Ketika sore hari, aku, ayah dan ibu berada di teras rumah. "Dunia sedang melihat kita. jangan sampai kita membuatnya mengacuhkan kita lagi. Ini demi kebaikan kita." Ucap ayah usai meletakkan cangkir berisi teh hangat buatan ibu. Aku hanya mengangguk pelan dan membuang pandanganku ke hamparan bukit hijau yang bertengger di dekat rumahku. suasana sore ini begitu menenangkan.Ditambah dengan berfungsinya lagi alat penetas telur itu. Semakin tenang rasanya atas kembalinya kedua pegawai kepercayaan ayah. Pak Pambudi dan Mas Heru. Jujur, aku merasa ini adalah sebuah pijakan awal untuk ayah dalam membangunkan lagi semangat dan usahanya yang nyari runtuh.

Ayah menyikapinya dengan bijak. Beliau jadikan masa-masa kritisnya waktu itu sebagai cambuk penyemangat untuknya. Ayah memang sedih, tapi tidak berputus asa. Ayah memang kecewa namun tidak menyerah. Ayah tidak ingin menyerah pada keadaan, beliau ingin melihatku lulus sarjana dan adik-adikku bisa sekolah hingga perguruan tinggi, itulah yang membuat ayahku tidak mau berhenti di sini. Ayah membaca korannya kembali, ibu sibuk dengan rajutan tangan dan entah apa yang beliau buat kali ini. aku termenung menatap tiap lekuk bukit yang jaraknya beberapa kilo dari rumahku.

Ayah pernah berjanji padaku jika usahanya akan runtuh nanti, ayah akan tetap bertahan apapun yang akan terjadi padanya. Sudah sering ayah merasakan pahitnya kehidupan seorang pebisnis dikala nyaris gulung tikar orang-orang disekitarnya malah pergi meninggalkannya. Pelajaran yang sangat berharga. Ayah lakukan ini karena rasa cintanya kepada keluarga.

Kupandangi sosok lelaki tak kenal lelah dan menyerah ini, beberapa lipatan-lipatan halus muncul di sela-sela keningnya, ayahku mulai menua. Mau tidak mau, nanti akulah yang akan meneruskan perjuangan ini. Kemudian lamunanku terpecah ketika Mas Heru mencubitku dari belakang. "Aw!" Teriakku, dia hanya tersenyum jahil padaku. Kemudian dia pamit untuk pulang. Ayah bangkit dari duduknya dan meletakkan korannya di atas alat penetas telur.

No comments:

Post a Comment